Surat terbuka Perkara Rasman vs Hotman Paris

  • Whatsapp

Foto : Razman Vs Hotman Paris (ist)

 

Read More

 

JAKARTA – Bahwa sebagai bagian dari masyarakat yang peduli terhadap penegakan hukum yang transparan, adil, dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, menyampaikan pernyataan sikap terkait dengan proses hukum yang sedang berlangsung terhadap terdakwa PUTRI IQLIMA APRILIA dan terdakwa Dr. H. RAZMAN ARIF NASUTION, S.H., S.Ag., M.A., Ph.D. Kami menganggap terdapat cacat hukum yang serius dan ketidaksesuaian dengan hukum acara yang berlaku dalam proses penuntutan ini.

Fakta-Fakta Temuan yang Menjadi Dasar Surat Pernyataan Sikap ini:

1. Pasal 27 Ayat (3) UU ITE Lama Telah Dihapus

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016, Pasal 27 Ayat (3) UU ITE lama mengatur mengenai pencemaran nama baik melalui informasi elektronik, dengan ancaman pidana 4 tahun penjara dan denda Rp750.000.000. Namun, pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008, Pasal 27 Ayat (3) tersebut telah dihapus dan digantikan dengan Pasal 27A dalam Undang-Undang yang baru.

Pasal 27A dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 menetapkan bahwa:
“Setiap orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui Sistem Elektronik.”

Selain itu, ancaman pidana yang dikenakan lebih ringan, yakni maksimal 2 tahun penjara dan denda Rp400.000.000 (Empat Ratus Juta Rupiah). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024, PASAL 27 AYAT (3) UU ITE LAMA YANG DITERAPKAN DALAM DAKWAAN JAKSA TIDAK LAGI BERLAKU PADA TANGGAL 2 JANUARI 2024 SEJAK DIUNDANGKAN.

2. Ketidaksesuaian Dakwaan Jaksa dengan Hukum yang Berlaku
Jaksa dalam kasus ini masih menerapkan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE Lama yang telah dihapus, sehingga tidak sesuai dengan hukum yang berlaku saat ini. Ini mengakibatkan pelanggaran asas legalitas yang harus diikuti oleh setiap aparat penegak hukum.
Asas Legalitas Formil, yang tercantum dalam Pasal 1 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), mengatur bahwa:

“Tidak ada perbuatan yang dapat dihukum, kecuali ada ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang sah.”

Ketika pasal yang digunakan jaksa telah dihapus, maka peraturan perundang-undangan yang sah telah berubah, dan jaksa seharusnya mengacu pada pasal yang baru (Pasal 27A UU ITE). Oleh karena itu, penggunaan Pasal 27 Ayat (3) yang telah dihapus adalah tindakan yang tidak sah dan melanggar prinsip hukum ini.

Selain itu, prinsip Lex Posterior Derogat Legi Priori menyatakan bahwa peraturan yang lebih baru (lex posterior) mengesampingkan peraturan yang lebih lama (lex prior). Dalam konteks ini, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 yang lebih baru mengubah dan menggantikan Pasal 27 Ayat (3), yang artinya Pasal 27A yang baru adalah yang berlaku dan seharusnya digunakan. Penuntutan dengan menggunakan Pasal 27 Ayat (3) yang telah dihapus jelas melanggar asas ini, yang menunjukkan adanya kesalahan serius dalam proses penuntutan.

3. Etika Jaksa dalam Menuntut Sesuai Aturan Peraturan Kejaksaan.

Dalam menuntut suatu perkara, jaksa wajib mematuhi Kode Etik Jaksa dan Peraturan Jaksa Agung yang mengatur tentang kewajiban jaksa untuk bertindak secara profesional dan objektif. Sesuai dengan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2010 tentang Pedoman Penuntutan, jaksa wajib memastikan bahwa tuntutan yang diajukan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, termasuk menggunakan pasal yang sah berdasarkan hukum yang berlaku saat ini.

Tuntutan yang tidak sesuai dengan hukum yang berlaku, seperti dalam hal ini menggunakan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE Lama yang telah dihapus, mencerminkan pelanggaran terhadap etika profesional jaksa. Jaksa seharusnya lebih teliti dan memastikan bahwa pasal yang digunakan dalam dakwaan sesuai dengan peraturan yang berlaku, mengingat bahwa proses hukum harus didasarkan pada prinsip keadilan dan hukum yang berlaku.

4. Asas In Dubio Pro Reo
Kami juga menegaskan bahwa, dalam konteks ini, sesuai dengan prinsip asas in dubio pro reo (keraguan harus diuntungkan pada terdakwa), seharusnya jaksa tidak melanjutkan tuntutan yang menggunakan pasal yang telah dihapus, karena hal ini membingungkan dan tidak berdasarkan hukum acara yang berlaku. Dalam hal ini, pihak jaksa dan aparat penegak hukum harus lebih berhati-hati dalam memutuskan perkara dengan mengedepankan asas keadilan dan hukum yang berlaku.

5. Sidang Terbuka dan Prinsip Hukum yang Berlaku
Kami ingin mengingatkan bahwa sesuai dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, prinsip sidang terbuka untuk umum diterapkan secara umum, namun terdapat beberapa pengecualian yang dapat menyebabkan sidang dilakukan tertutup. Beberapa pengecualian tersebut diatur dalam Pasal 10 dan Pasal 11, antara lain:

Sidang dapat dilakukan secara tertutup jika berkaitan dengan perkara yang melibatkan anak di bawah umur atau korban anak.
 Perkara yang menyangkut perlindungan saksi atau kerahasiaan.

Perkara yang berhubungan dengan hak asasi manusia.

Namun, dalam dakwaan jaksa yang disampaikan sebelumnya, tidak ada indikasi bahwa kasus ini termasuk dalam kategori yang membutuhkan sidang tertutup, seperti kasus pencabulan, asusila, atau yang melibatkan anak-anak.

Kasus pencemaran nama baik yang didakwakan tidak memenuhi syarat untuk digelar dalam sidang tertutup. Oleh karena itu, sidang ini harusnya terbuka untuk umum sebagai bagian dari prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam proses peradilan.

6. Nomor Perkara dan Surat Pelimpahan Jaksa
Adapun nomor perkara yang sedang diperiksa di Pengadilan Negeri Jakarta Utara adalah Nomor Perkara 1057/Pid.Sus/2024/PN Jkt.Utr yang berhubungan dengan surat pelimpahan dari Jaksa kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara, tertanggal Kamis, 21 November 2024. Selain itu, surat pelimpahan Jaksa dengan nomor B-5070/M.1.11/Eku.2/11/2024 terkait dengan terdakwa Dr. H. RAZMAN ARIF NASUTION, S.H., S.Ag., M.A., Ph.D yang juga patut diperhatikan, mengingat kesalahan penggunaan pasal yang telah dihapus di dalam surat dakwaan yang dilayangkan.

Pernyataan Sikap Kami:
Kami meminta Ketua Badan Pengawasan Mahkamah Agung, Ketua Komisi Yudisial, dan Ketua Komisi Kejaksaan untuk segera melakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap proses persidangan yang menggunakan pasal yang sudah dihapus oleh UU yang lebih baru. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap prinsip legalitas yang sangat fundamental dalam hukum pidana.

Kami mendesak kepada insan pers untuk lebih kritis dan mendalam dalam memberikan informasi kepada masyarakat terkait dengan proses hukum yang sedang berjalan. Keberadaan media harus menjadi sarana yang adil, tidak berpihak, dan mengedepankan hak asasi manusia, termasuk hak advokat untuk menjalankan tugas profesinya dengan bebas dari intimidasi atau kriminalisasi.

Kami meminta Komisi Yudisial untuk menyelidiki apakah proses hukum terhadap advokat yang terlibat dalam perkara ini telah mempertimbangkan sepenuhnya hak imunitas yang diberikan oleh hukum. Jika terjadi pelanggaran hak advokat dalam perkara ini, kami berharap Komisi Yudisial dapat segera bertindak untuk memberikan keadilan dan perlindungan kepada profesi advokat.

Demikianlah surat terbuka ini kami buat sebagai upaya untuk mendukung penegakan hukum yang adil, transparan, dan profesional. Kami percaya bahwa penegakan hukum yang benar hanya dapat tercapai jika semua pihak bekerja sesuai dengan hukum yang berlaku dan menjunjung tinggi asas keadilan.

Hormat kami,

Rinto Maha, SH., MH
Advokat Peradi

(R2/TBM)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *