JAKARTA – Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI), Hidayat Nur Wahid mengecam Presiden Prancis Emmanuel Macron yang tetap membiarkan penistaan terhadap Nabi Muhammad SAW berlangsung di Prancis. Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini juga mengutuk segala kekerasan yang timbul sebagai akibatnya.
HNW menilai alasan Presiden Macron bahwa kartun yang menistakan Nabi Muhammad sebagai bentuk kebebasan berpendapat atau berekspresi tidaklah tepat. Mestinya dalam hal ini Macron lebih mementingkan kemaslahatan umum dengan mengikuti putusan Peradilan HAM Eropa, yang pada 25 Oktober 2018 yang menetapkan bahwa penistaan agama dan tokoh agama bukanlah bentuk kebebasan berbicara atau berekspresi.
Putusan itu terkait dengan kasus E.S. yang dijatuhi hukuman pidana oleh pengadilan di Austria karena dia berulangkali menista Nabi Muhammad dengan penyebutan paedofilia. Kasus ini kemudian oleh yang bersangkutan dibawa ke Pengadilan HAM Eropa, tetapi permohonannya ditolak oleh Pengadilan HAM Eropa dengan penegasan bahwa penistaan kepada Nabi Muhammad bukanlah bagian dari kebebasan berekspresi.
”Dalam putusannya, Pengadilan HAM Eropa menyebutkan pernyataan bahwa Nabi Muhammad adalah paedofilia merupakan pernyataan yang telah melampaui batas yang diizinkan dari kebebasan berekspresi,” ujarnya dalam siaran pers di Jakarta, kemarin.
Selain itu, lanjut HNW, Presiden Macron juga perlu merujuk kepada kasus Soile Lautsi vs peradilan Italia, di mana Lautsi keberatan dengan adanya crucifix (patung salib Katolik) dipasang di sekolah umum di Italia. Permohonan ini pun kemudian ditolak oleh Pengadilan HAM Eropa karena patung salib itu bukan hanya sebagai simbol agama, tetapi juga warisan budaya Barat Italia.
HNW menuturkan bahwa berdasarkan putusan Pengadilan HAM Eropa dalam kasus-kasus tersebut seharusnya sudah tidak perlu ada lagi perdebatan soal antara hubungan kebebasan berekspresi dan penistaan terhadap agama atau pun tokoh agama. Menurutnya, menghormati agama atau tokoh agama dari masing-masing pihak justru akan jadi koreksi terhadap radikalisme dan ekstremisme, dan malah akan hadirkan toleransi di tengah masyarakat plural. Sebagai negara hukum, mestinya Macron menghormati dan mengambil kebijakan sesuai dengan putusan Pengadilan HAM Eropa.
“Apalagi, Pengadilan HAM Eropa ini berada di Kota Strassbourg, salah satu kota di Prancis. Bila Macron melaksanakan ketentuan-ketentuan dari Pengadilan HAM Eropa, serta berlaku adil dan konsisten, maka ia secara nyata telah menguatkan harmoni antarwarga dan antarumat beragama di Prancis yang bisa berdampak global. Sehingga tidak akan ada reaksi negatif dari individu maupun komunitas umat beragama Islam. Sehingga Kementerian Luar Negeri Prancis juga tak perlu mengiba-iba, meminta tidak ada pemboikotan terhadap produk-produk Prancis, ” ujarnya.
Lebih lanjut, HNW juga mengkritik sikap siaran pers Kedubes Prancis di Jakarta yang seakan tidak peka atau malah mengalihkan isu dari akar masalah sebenarnya, yakni dibiarkannya penghinaan terus berlangsung terhadap Nabi Muhammad SAW di Prancis. Padahal itulah akar masalah yang mestinya dikoreksi oleh Pemerintah Prancis, jangan beralih ke isu lain, atau hanya mempermasalahkan reaksi yang muncul akibat aksi penistaan terhadap Nabi Muhammad SAW yang terus mereka pertontonkan.
“Karena penghinaan agama atau tokoh agama jelas bukan jenis kebebasan berbicara/bereskpresi, melainkan pelanggaran HAM, sebagaimana disebutkan dalam Resolusi Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss, pada 26/3/2009, dan hal serupa juga diputuskan oleh Pengadilan HAM Eropa,” ujarnya.
Meski begitu, HNW juga mengutuk keras segala bentuk ekstremisme dan radikalisme, juga menolak kekerasan atau kejahatan hingga pembunuhan atau tindakan kriminal terhadap perempuan muslimah, yang terjadi akibat peristiwa itu. Ia berharap semua pihak dapat menyelesaikan persoalan ini dengan kepala dingin, akal sehat, berbasiskan keadilan hukum dengan merujuk pada ketentuan Dewan HAM PBB maupun Peradilan HAM Eropa, dengan menghindari segala bentuk tindakan rasial, kriminal maupun konfrontasi kekerasan yang bisa berdampak kontraproduktif dalam skala yang lebih luas atau besar.
HNW mengapresiasi sikap Pemerintah RI yang sudah memanggil Dubes Prancis, tapi itu belum cukup, seharusnya pemerintah sebagai Anggota Dewan HAM PBB, dan negara demokratis yang mayoritas berpenduduk muslim terbesar di dunia, mestinya dapat berperan lebih aktif dan efektif agar masalah ini segera diatasi, agar tidak semakin meluas.
”Pemerintah RI perlu menuntut Macron untuk menghormati keputusan Dewan HAM PBB maupun Pengadilan HAM Eropa yang menegaskan bahwa penistaan agama atau tokoh agama bukanlah bentuk kebebasan berbicara atau berekspresi, melainkan itu justru bentuk pelanggaran HAM. Mestinya Macron bisa diingatkan agar berlaku rasional dan adil kepada 5 jutaan warganya yang memeluk Islam dan meyakini Muhammad SAW sebagai Nabi yang mereka sucikan,” ujarnya.(Red/Sindonews)